• Thread Author
Transformasi di sekitar kita berlangsung dengan cepat, nyata, dan tak terelakkan, didorong oleh kecerdasan buatan (AI) yang mengakselerasi inovasi di segala lini kehidupan, mulai dari cara kita bekerja, belajar, hingga menjalani aktivitas sehari-hari. Namun, merayakan ulang tahun ke-50 Microsoft, satu hal menjadi semakin jelas: perubahan hebat tidak sekadar terjadi, melainkan diciptakan oleh para pembuat perubahan – mereka yang berani belajar, berinovasi, beradaptasi, dan menabrak batas-batas lama. Inovasi terbaik selalu lahir dari perspektif yang beragam, dan siapa pun—termasuk perempuan, yang hingga kini masih minoritas di bidang STEM dan kecerdasan buatan—berpeluang besar untuk membawa arah transformasi ke jalur lebih inklusif dan bermanfaat.

Kesenjangan Gender dalam AI: Mengapa Perempuan Harus Hadir di Garis Depan​

Sejarah mencatat bahwa sejumlah inovasi terpenting kerap berakar dari kebutuhan kelompok tertentu, dan kemudian terbukti bermanfaat bagi masyarakat luas. Lihat saja contoh closed caption, semula untuk tunarungu, kini membantu siapa saja: pelajar bahasa asing, profesional di lingkungan bising, atau pengguna media digital. Namun, ketika bicara soal AI dan STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics), partisipasi perempuan masih tertinggal jauh.
Statistik global American Association of University Women menyebut hanya 28% pekerja STEM adalah perempuan—angka di bidang AI bahkan lebih rendah, dan di Indonesia, hanya 12% lulusan STEM adalah perempuan. Minimnya partisipasi ini bukan sekadar soal proporsi, tapi menandakan potensi hilangnya gagasan-gagasan baru dan sudut pandang unik yang bisa mendorong inovasi lebih manusiawi serta relevan.
Risiko tak terbantahkan: jika AI—teknologi yang membentuk masa depan—hanya didesain oleh kelompok homogen, bias pun tak terhindarkan. Mulai dari perangkat lunak pengenalan wajah yang diskriminatif, hingga algoritma pencarian kerja yang tidak adil. Inilah alasan mengapa Microsoft, bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Kominfo), serta 18 mitra lainnya, menggulirkan elevAIte Indonesia: sebuah program nasional untuk membekali satu juta talenta tanah air dengan keahlian AI secara inklusif.

elevAIte Indonesia: Membuka Gerbang Literasi AI untuk Semua​

elevAIte Indonesia adalah inisiatif kolosal yang bertujuan lebih dari sekadar transfer pengetahuan teknis. Di dalamnya ada visi besar: setiap orang, dari latar belakang apa pun, bisa menjadi pembaharu lewat AI. Program ini bukan saja menawarkan pelatihan terpadu berbasis teknologi Microsoft—khususnya Copilot dan layanan cloud Azure—tapi juga membidik kelompok minoritas dalam dunia teknologi, salah satunya perempuan.
Menurut Arief Suseno, AI National Skills Director Microsoft Indonesia, “Teknologi AI bukan hanya membuka peluang baru, namun juga mengubah cara kita bekerja dan berinovasi. Manfaat AI hanya bisa dirasakan penuh bila semakin banyak orang yang mampu memanfaatkannya secara tepat.” Pernyataan ini menegaskan pendekatan inklusif Microsoft: bahwa skill AI harus dapat diakses, bukan sebatas untuk engineer tetapi bagi siapa saja yang ingin membawa perubahan.
Tiga kisah inspiratif perempuan Indonesia berikut menjadi bukti nyata. Dari dunia pendidikan, rumah tangga, hingga inovasi di ruang kelas, mereka membuktikan bahwa AI bukan wilayah eksklusif bagi insinyur, namun alat untuk setiap “changemaker”.

Dewi Sartika Salam: AI untuk Perbaikan Layanan Publik​

Sebagai pegawai di Balai Penjamin Mutu Pendidikan (BBPMP) Sulawesi Selatan, Dewi Sartika sehari-hari berkutat dengan data pendidikan—mulai dari mengkaji tren, mengevaluasi kebijakan, hingga memahami kebutuhan sekolah setempat. Latar belakang statistik telah membiasakannya menganalisis data kualitatif-kuantitatif, namun AI sebelumnya adalah ranah yang asing baginya.
Keikutsertaannya dalam pelatihan elevAIte, terutama sesi “Capacity Building untuk Pegawai BBPMP” yang digarap bersama Biji-Biji Initiative, membuka cakrawala baru. “Awalnya saya sekadar ingin belajar, karena AI sedang tren. Tapi setelah ikut pelatihan, saya sadar teknologi ini lebih dari sekadar chatbot interaktif—ia benar-benar membantu pekerjaan kami,” kenang Dewi.
Pengalaman pertamanya dengan Microsoft Copilot menjadi titik balik: Dewi bisa mengolah dan memilah data lebih cepat, menemukan pola-pola menarik, hingga menyusun rekomendasi yang lebih relevan untuk tantangan nyata di dunia pendidikan. Meski telah didukung AI, keputusan akhir tetap di tangan Dewi: keahlian manusia penting guna memastikan hasil analisis benar-benar sesuai konteks lapangan.
Tak berhenti di dirinya, Dewi aktif memperluas dampak: mengenalkan AI kepada rekan guru, mendukung administrasi sekolah, hingga membantu komunitas ibu rumah tangga memanfaatkan AI untuk kecerdasan parenting serta pemecahan masalah matematika bersama anak-anak. Pendekatan yang ia terapkan mampu menurunkan hambatan psikologis terhadap teknologi yang semula dianggap “menakutkan”.
Pandangannya sederhana namun mendalam: “AI bukan cuma soal mempercepat kerja, tapi juga membuka cara berpikir dan berinovasi yang sama sekali baru. Saya berharap makin banyak guru dan ASN bisa memanfaatkan AI dengan tanggung jawab. Kita harus adaptif dan terbuka terhadap perubahan,” tutup Dewi.

Diana Putri: AI untuk Membuka Wawasan Parenting dan Menjelajah Usaha​

Latar belakang akademis Diana Putri adalah magister akuntansi. Namun, perempuan asal Sintang, Kalimantan Barat ini lebih memilih berfokus membesarkan keluarga, sekaligus tetap memperkaya diri dengan berbagai wawasan. Melalui komunitas Perempuan Pandai AI (PandAI)—program NUCare Global by LAZISNU, mitra elevAIte Indonesia—Diana menemukan cara baru memadukan kecanggihan teknologi dengan rutinitas sehari-hari.
Motivasinya sangat membumi, berangkat dari rasa ingin tahu dan kebutuhan praktis sebagai ibu dua anak. Salah satu tantangan utamanya, memilah informasi parenting yang kredibel di tengah banjir konten digital. Copilot kini membantunya merangkum dan menyaring sumber-sumber saran pengasuhan anak, memilih mana yang paling terpercaya dan sesuai dengan nilai keluarganya.
AI juga menjadi jawaban atas rasa penasaran anak-anaknya—mulai dari “bagaimana proses terjadinya hujan?” hingga “mengapa bentuk telinga manusia seperti itu?”. Jawaban analogis Copilot, yang mudah dicerna oleh anak, membantunya memenuhi keingintahuan mereka dengan cara menyenangkan. Bahkan, AI membantu Diana mencari ide kreatif permainan sensory sederhana, hingga resep makanan bersama anak-anak.
Tak berhenti di pengasuhan, Diana mulai memanfaatkan AI untuk eksplorasi peluang bisnis: dari mencari inspirasi usaha, memahami strategi pemasaran, sampai menyusun rencana bisnis dari nol. Dengan AI, ia mampu meracik informasi yang relevan dengan latar dan konteksnya sebagai ibu rumah tangga yang ingin tetap produktif.
Harapannya sederhana: agar lebih banyak perempuan memandang AI bukan sebagai “sesuatu yang sulit”, tetapi alat bantu untuk mengoptimalkan berbagai segi kehidupan. “Tidak ada salahnya mencoba, belajar itu pasti bermanfaat,” simpul Diana—sebuah pesan empowerment yang relevan di era digital.

Nura Uma Annisa: AI untuk Masa Depan Pendidikan Indonesia​

Nura Uma Annisa adalah contoh nyata pendidik masa depan yang tak henti belajar. Sebagai guru Informatika di SD Nasima, Semarang, perjalanan inovasi Nura dimulai lebih dari satu dekade lalu melalui komunitas Microsoft Innovative Educator Experts (MIEE). Walau telah memenangkan berbagai penghargaan bidang pendidikan digital, Nura menyadari satu hal: teknologi selalu berkembang, dan memahami AI adalah lompatan penting berikutnya.
Melalui pelatihan elevAIte bersama Dicoding, Nura mengubah cara pandangnya terhadap AI. “Dulu, saya pikir AI sekadar prompt dan jawaban instan. Setelah menyelami lebih dalam, saya sadar AI bekerja layaknya neuron otak: menganalisis, mengklasifikasikan, memproses informasi secara komprehensif,” jelasnya.
Dengan dukungan sekolah, MIEE, dan pelatihan Training of Trainers (ToT) dari Microsoft, Nura meraih sertifikasi Fundamentals of AI (AI-900), yang memperkenalkan dasar-dasar AI serta pemanfaatan layanan Azure untuk membangun solusi berbasis AI. Di sekolah, ia aktif menggandeng kolega lintas guru untuk memaksimalkan teknologi, mulai dari membuat materi ajar inovatif di Microsoft Designer dan Copilot hingga mengenalkan Minecraft Education—aplikasi pembelajaran berbasis game interaktif yang mengintegrasikan konsep STEM dan augmented reality.
Transformasi ini melahirkan ekosistem belajar baru di SD Nasima: murid tak sekadar pengguna teknologi, melainkan pencipta—mulai dari membuat komik edukasi berbasis AI, membangun storyboard dengan Copilot, hingga mengembangkan proyek coding sederhana. Efek domino juga terasa bagi sesama guru, salah satunya diganjar “Guru Terinspiratif” tingkat nasional lewat kreasi dongeng digital dengan Microsoft Designer.
Nura percaya bahwa literasi AI sejak dini membekali generasi masa depan menghadapi tantangan nyata era digital. Namun, peran guru tetap sentral: “Anak-anak memang harus paham AI dari sekarang, supaya siap menghadapi masa depan. Tapi bimbingan guru tetap tak tergantikan,” ujarnya menutup cerita.

Inklusivitas atau Stagnasi: Refleksi Kritis untuk Ekosistem AI Nasional​

Kisah ketiga perempuan di atas menegaskan urgensi ekosistem AI yang benar-benar inklusif. Microsoft, melalui elevAIte, berhasil membuka tapal batas baru, menjembatani teknologi mutakhir dengan beragam ranah kehidupan: birokrasi, rumah tangga, hingga ruang kelas. Namun, pertanyaan besarnya—seberapa luas model kolaborasi semacam ini dapat direplikasi dan di-scale ke seluruh Indonesia?
Risiko utama tetap mengintai, bahkan di tengah visi mulia sekalipun. Penguasaan AI yang tidak merata berpotensi memperlebar kesenjangan digital. Jika akses pelatihan, sertifikasi, dan teknologi masih berpusat di kota-kota besar atau kalangan terdidik, maka kelompok rentan malah semakin tertinggal dan hanya jadi “penonton” era transformasi digital. Selain itu, penetrasi etika dalam penggunaan AI sering luput; aspek privasi, keamanan data, serta bias algoritmik perlu menjadi bagian krusial setiap modul pelatihan.
Namun, kekuatan pendekatan elevAIte ada pada narasi “AI untuk semua”. Para changemaker yang ditampilkan bukan CEO unicorn atau ilmuwan elit, melainkan warga biasa yang berubah menjadi pionir—dengan motivasi sederhana: ingin menjadi lebih baik untuk dirinya serta komunitas.
Keberhasilan nyata program seperti elevAIte terletak pada penggalangan komunitas belajar, keberlanjutan mentorship, serta sinergi lintas pemangku kepentingan: dari swasta, publik, hingga akar rumput. Kolaborasi Microsoft dengan Kemkomdigi dan mitra-mitra pelaksana memperlihatkan cetak biru model percontohan yang dapat menjadi inspirasi nasional, bahkan regional. Jika kunci ini dijaga, Indonesia berpeluang besar bukan sekadar sebagai pasar AI, tetapi kreator solusi AI yang membumi dan relevan dengan kearifan lokal.

Masa Depan AI Indonesia: Membuka Jalan Bagi Setiap Profesi​

Manfaat AI tidak berbatas profesi. Kisah Dewi, Diana, dan Nura membuktikan siapapun berpeluang menjadi penggerak perubahan (changemaker) selama punya keberanian membongkar anggapan “AI sulit”. elevAIte Indonesia sejauh ini telah membuka jalan bagi ribuan peserta, dan program ini masih berjalan, menanti lebih banyak perempuan, pendidik, ASN, maupun ibu rumah tangga yang siap menjadi pelaku, bukan sekadar pengguna teknologi.
Untuk benar-benar menjangkau satu juta talenta Indonesia, diperlukan percepatan kolaborasi multipihak: pemerintah perlu memperluas adopsi program ke ekosistem pendidikan dasar-menengah, pelaku industri wajib membuka pintu bagi AI-talents from diverse backgrounds, dan masyarakat sipil didorong aktif menjadi bagian dari gerakan literasi digital.
Lewat program seperti elevAIte, Microsoft memperkuat posisi dirinya bukan semata sebagai raksasa teknologi, tetapi juga mitra pembangunan digital inklusif. Namun, komitmen keberlanjutan lebih dari sekadar pelatihan: perbaikan kurikulum AI, penyediaan perangkat lunak rendah biaya atau gratis di sekolah-sekolah, serta jaring pengamanan etis bagi pengguna baru harus diprioritaskan.

Menyongsong Era Perubahan: AI Adalah Hak, Bukan Hak Istimewa​

Transformasi AI sudah di depan mata: siapa pun kini dapat mengakses Copilot, belajar melalui platform digital, hingga membangun inovasi sederhana dari rumah. Potensi terbaik inovasi hanya akan lahir bila ruang kreasi dibuka selebar-lebarnya untuk ragam identitas dan latar sosial. Di titik ini, elevAIte, Microsoft, dan ekosistem pendukungnya, tengah meletakkan fondasi sebuah masa depan di mana AI adalah hak bagi semua, bukan eksklusivitas segelintir elite atau komunitas pusat kota.
Bagi Anda yang ingin melangkah menjadi pembuat perubahan—apakah Anda guru, ibu rumah tangga, pelajar, ASN, atau pelaku bisnis—peluang itu terbuka. elevAIte Indonesia membuka pendaftaran di elevaite.id/education bagi tenaga pendidik, dan elevaite.id bagi masyarakat umum yang ingin belajar dan turut serta membentuk masa depan AI tanah air yang relevan, aman, dan beragam.
Perjalanan masih panjang, tantangan tetap besar, namun harapan tumbuh dari setiap cerita nyata seperti Dewi, Diana, dan Nura: bahwa perubahan tidak pernah menunggu siapa, melainkan diciptakan bersama oleh setiap mereka yang berani belajar dan berinovasi di tengah perubahan.

Source: news.microsoft.com Women at the Forefront of AI Transformation: The Story of Three Indonesian Changemakers - Source Asia
 
Last edited: